Bila datang ke Yogyakarta, dan kebetulan anda bingung menentukan arah mau ke mana, ada satu patokan yang pasti
dikenal oleh seluruh orang Jogya. Itulah Tugu. Sebuah bangunan monumen
sejarah yang terletak di perempatan bertemunya Jalan Pangeran Mangkubumi di
sisi selatan, Jalan AM Sangaji di sisi utara, Jalan Jenderal Sudirman di
sebelah timur, dan Jalan Pamgeran Diponegoro di sebelah barat. Tugu setinggi
15 meter itu diresmikan pada 3 Oktober 1889 atau 7 Sapar 1819 Tahun
Jawa.
Dari Tugu itu pula, maka pendatang dari
luar Jogya seolah bisa ”menggenggam” seluruh kawasan kota ini. Tinggal
mau ke mana? Semua bisa ditempuh dalam hitungan menit. Jogya kota kecil,
Tugu bisa menjadi poros segala arah. Jika kemudian bingung di dalam
kota Jogya, silakan kembali ke Tugu. Dijamin Anda tidak bingung lagi! Atau enggak jalan keluar dari Ringrood, karena ringrood mengelilingi kota Jogja.
Asal tahu saja, Tugu itu ternyata juga
menjadi salah satu poros imajiner pihak Kraton Yogyakarta. Jika ditarik
garis lurus dari selatan ke utara, atau sebaliknya maka akan ditemukan
garis lurus ini: Laut Selatan (konon dikuasai oleh Kanjeng Ratu Kidul,
istri Sultan Raja-raja Mataram), Krapyak, Kraton Yogyakarta, Tugu, dan
Gunung Merapi.
Bahkan, Sultan sebagai penguasa Kraton Yogyakarta, jika duduk di singgasana di Siti Hinggil Kraton, ia bisa memandang Gunung Merapi di sisi utara. Ikatan magis antara Laut Kidul, Kraton, dan Gunung Merapi hingga saat ini dipercaya oleh orang Jogya. Oleh sebab itu budaya larungan selalu dilaksanakan pada bulan Sura di Laut Selatan maupun Gunung Merapi oleh pihak Kraton.
Filosofi Berubah
Seiring dengan perjalanan sejarah, Tugu
yang sudah berumur 100 tahun lebih itu rupanya akan diubah bentuknya.
Perubahan bentuk itu jika jadi dilakukan jelas bisa dibilang
melanggar undang-undang cagar budaya. Namun apa mau dikata jika yang mau
mengubah adalah pihak Kraton Yogyakarta? Tentunya ada alasan kuat yang
mendasarinya. Konon, dari catatan sejarah disebutkan, sosok Tugu yang
ada sekarang itu sebenarnya telah mengalami perubahan bentuk dari sosok
aslinya. Tugu itu semula didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I,
pendiri Kerajaan Yogyakarta setelah Mataram Islam yang berpusat di
Kartasura terpecah menjadi dua. Sebagian menjadi Kasultanan Yogyakarta,
sebagian lagi menjadi Kasunanan Surakarta pada Perjanjian Giyanti tahun
1755. Tugu itu dulu disebut Tugu Golong-Gilig.
Bentuk Tugu Golong-Gilig itu, konon puncaknya berupa golong (bulatan mirip bola) dan bawahnya berbentuk
bulat panjang/silindris atau gilig. Tugu Golong-Gilig tersebut
melambangkan tekad yang golong gilig (menyatunya pimpinan/raja dengan
rakyatnya). Makna lebih jauh adalah bersatunya raja dan rakyatnya dalam
perjuangan melawan musuh maupun menyatu dalam membentuk pemerintahan
dalam satu negara. Di sisi lain juga bisa dimaknakan sebagai hubungan
antara manusia dengan Sang Khalik.
Jika melihat makna Tugu Golong-Gilig
adalah bersatunya antara raja dan rakyat, maka hal itu bisa dimengerti
karena pendiri Kerajaan Yogyakarta kala itu dikenal sebagai
pemberontak yang ingin memisahkan diri dari Kerajaan Mataram Islam yang
justru dikuasai penjajah Belanda. Pangeran Mangkubumi (kemudian bergelar
Sultan Hamengku Buwono I) memilih memberontak dan memisahkan diri
dari pada kerajaan di bawah pengaruh kekuasaan Belanda.
Pernah Runtuh
Tugu Golong-Gilig semula dibangun
setinggi 25 meter. Kemudian karena gempa tektonik pada 10 Juni 1867 atau
4 Sapar Tahun EHE 1284 H atau 1796 Tahun Jawa sekitar pukul 05.00 pagi,
tugu itu rusak terpotong sekitar sepertiga bagian. Musibah itu bisa
terbaca dalam candra sengkala – sebuah catatan kata yang bermakna angka
tahun — Obah Trusing Pitung Bumi (1796).
Tugu itu kemudian diperbaiki oleh
Opzichter van Waterstaat/Kepala Dinas Pekerjaan Umum JWS van Brussel di
bawah pengawasan Pepatih Dalem Kanjeng Raden Adipati Danurejo V. Lalu
tugu baru itu diresmikan Hamengku Buwono VII pada 3 Oktober 1889 atau 7 Sapar 1819
Tahun Jawa. Oleh pemerintah Belanda, tugu itu disebut De Witte Paal
(Tugu Putih).
Menurut kerabat Kraton Yogyakarta yang
juga Kepala Bapedalda (Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah)
Daerah Istimewa Yogyakarta, Raden Mas Haji Tirun Marwito SH, saat ini
Kraton Yogyakarta memang sedang mengkaji kemungkinan mengembalikan Tugu Jogya ke bentuk asalnya. ”Bentuk Tugu yang sekarang ini sudah direkayasa
oleh pihak penjajah Belanda saat itu. Akibatnya makna filosofinya sudah
berubah,” tuturnya.
Saat dibangun kembali oleh pemerintah
Belanda, di sana ada candra sengkala Wiwaraharja Manunggal
Manggalaning Praja atau tahun Jawa 1819 yang berarti pintu menuju
kesejahteraan bagi para pemimpin negara. Hal itu jelas bertentangan
dengan simbol Golong-Gilig. Oleh sebab itulah maka pihak Kraton
Yogyakarta berniat mengubah bentuk tugu yang sekarang.
”Bila nanti rencana itu dilaksanakan, ada
beberapa kemungkinan yang akan ditempuh. Misalnya, Tugu Jogya yang ada
sekarang ini dipindah dan diletakkan di pinggir jalan sebagai monumen
bahwa Tugu Jogya pernah berbentuk seperti itu. Lalu di lokasi tempat
tugu itu berada dibangun kembali Tugu Golong-Gilig seperti yang pernah
dibangun oleh Sultan Hamengku Buwono I,” kata Tirun.
0 Response to "Sejarah Tugu Jogja (Daerah Istimewa Yogyakarta)"
Posting Komentar